Sabtu, 02 Mei 2015

Cerita Tentang Kesabaran

Cerita Tentang Kesabaran

Oleh : Kang Jalal

***
Ada sebuah riwayat tentang kesabaran yang diceritakan dalam kitab Jihadun Nafs (2) karya Ayatullah Mazhahiri: Dimasa Rasulullah, ada perempuan yang memiliki anak kecil. Perempuan ini seorang muslimah. Ia tidak bisa membaca dan menulis tapi ia mukmin yang sejati. Imannya memenuhi jantung dan hatinya. Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika menghadapi ujian.

Suatu hari anaknya itu sakit sementara suaminya sedang berada di tempat jauh untuk bekerja. Ketika suaminya bekerja, si anak kecil itu meninggal dunia. Istri itu duduk di samping anaknya dan menangis sejenak. Ia terjaga dari tangisannya. Ia menyadari bahwa sebentar lagi, suaminya akan pulang. Ia bergumam, “Kalau aku menangis terus menerus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia akan pulang dalam keadaan lelah.” Kemudian ia meletakkan anaknya yang sudah meninggal itu pada suatu tempat.

Tibalah suaminya dari tempat kerjanya yang jauh. Ketika suaminya hendak masuk ke rumah, istri itu menyambutnya dengan senyum ramah. Ia sembunyikan kesedihan dan ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan. Ia basuh kaki suaminya itu. Suaminya berkata, ”Mana anak kita yang sakit?” Istrinya menjawab, “Alhamdulillah ia sudah lebih baik.” Istri itu tidak berbohong karena anak kecilnya sudah berada di surga yang keadaannya jauh lebih baik. Istri itu terus berusaha menghibur suaminya yang baru datang. Ia ajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang suami bangun, mandi, dan shalat qabla subuh.

Ketika ia akan berangkat ke mesjid untuk shalat berjamaah, istrinya mendekat sambil berkata, “Suamiku aku punya keperluan.” “Sebutkanlah,” kata suaminya. Sang istri menjawab, “Kalau ada seseorang yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada saatnya orang itu mengambil amanat tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu kalau amanat itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan kepadanya?” Suaminya men-jawab, “Pastilah aku menjadi suami yang paling buruk akhlaknya dan khianat dalam beramal. Itu merupakan perbuatan yang sangat tercela. Aku wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya.” Lalu istrinya berkata, “Sudah tiga tahun, Allah menitipkan amanat kepada kita. Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu dari kita. Anak kita sekarang sudah meninggal dunia. Ia ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan lakukanlah shalat.” Suaminya pergi ke kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal.

Ia lalu pergi ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi. Pada waktu itu Nabi menjemputnya seraya berkata, “Diberkatilah malam kamu yang tadi itu.” Malam itu adalah malam ketika suami istri itu bersabar dalam menghadapi musibah.

Dari cerita itu kita dapat menangkap bagaimana sang istri memperlakukan suami dengan sabar dan suami memperlakukan istri dengan sabar pula. Dalam istilah modern, kedua suami istri itu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Biasanya keluarga seperti ini bisa bertahan lama.

***

Ada suatu riwayat lain tentang kesabaran: Dahulu di zaman Harun Al-Rasyid, terdapat seorang perdana menteri yang bernama Al-Asma’i. Suatu hari, ia pergi berburu ke padang pasir. Di satu tempat ia terpisah dengan kafilahnya. Ketika itu ia berada di tengah-tengah sahara dalam keadaan kehausan dan kepanasan. Lalu ia melihat ada sebuah kemah di tengah-tengah padang sahara. Ia berjalan mendekati kemah dan ia melihat di kemah itu ada seorang perempuan muda yang sangat cantik.

Perempuan itu sendirian. Ketika perempuan itu melihat Al-Asma’i mendekati kemah, ia mempersilahkannya untuk masuk ke kemahnya dan menyuruhnya untuk duduk di tempat yang agak jauh darinya. Al-Asma’i berkata kepadanya, “Tolong beri aku air minum.” Wajah perempuan itu berubah, ia berkata, “Sungguh, aku tidak bisa memberikan air kepadamu sebab suamiku tidak mengizin-kanku untuk memberikan air kepada orang lain. Tapi aku punya bagian makan pagiku yaitu susu. Aku tidak makan dan kau boleh meminumnya.” Lalu Al-Asma’i meminum susu itu dan perempuan itu tidak berbicara kepadanya.

Tiba-tiba ia melihat perempuan itu berubah wajahnya. Dari jauh ia melihat ada titik hitam mendekati kemah. Perempuan itu berkata, “Suamiku telah datang.” Perempuan cantik itu membawa air dan pergi keluar dari kemahnya. Ternyata suaminya yang datang itu adalah orang yang hitam, tua, dan berwajah jelek. Perempuan itu membantu kakek tua dari untanya lalu ia basuh dua tangan dan kaki suaminya dan dibawanyalah masuk ke dalam kemah dengan penuh penghormatan. Kakek tua itu sangat buruk akhlaknya. Ia tidak menegur sedikit pun kepada Al-Asma’i. Ia mengabaikan tamu dan memperlakukan istrinya dengan kasar. Al-Asma’i sangat benci kepadanya. Ia berdiri dari tempat duduknya dan pergi keluar kemah.

Perempuan itu mengantarkan Al-Asma’i keluar. Saat itu, Al-Asma’i bertanya kepadanya, “Saya menyesalkan keadaanmu. Kamu, dengan segala kemudaan dan kecantikanmu, sangat bergantung kepada orang seperti dia. Untuk apa kamu bergantung kepada dia? Apakah karena hartanya? Sedangkan ia orang miskin. Atau karena akhlaknya? Sedangkan akhlaknya begitu buruk. Atau kamu tertarik kepada dia karena ketampanannya? Padahal ia seorang tua yang buruk rupa. Mengapa kamu tertarik padanya?”


Wajah perempuan itu pucat pasi. Lalu ia berkata dengan suara yang sangat keras, “Hai Asma’i! Akulah yang menyesalkan kamu. Aku tidak menyangka seorang perdana menteri Harun Al-Rasyid berusaha menghapuskan kecintaanku kepada suamiku dari hatiku dengan jalan menjelek-jelekkan suamiku. Wahai Asma’i tidakkah kau tahu mengapa aku melakukan semua itu? Aku mendengar Nabi yang mulia bersabda: Iman itu setengahnya adalah kesabaran dan setengahnya lagi adalah syukur. Aku bersyukur kepada Allah karena Ia telah menganugerahkan kepadaku kemudaan, kecantikan, dan akhlak yang baik. Aku ingin menyempurnakan setengah imanku lagi dengan kesabaran dalam berkhidmat kepada suamiku.”



Jadi, perempuan di atas ingin menyempurnakan setengah keimanannya dengan kesabaran setelah ia bersyukur akan kemudaan, kecantikan, dan kebaikan akhlak-nya. Ia bersabar dengan jalan mengabdikan seluruh hidupnya kepada suaminya. Jika ada orang yang bersyukur tapi ia tidak bisa bersabar, imannya tidak sempurna. Karena ia kehilangan setengah imannya yang lain. Hadis ini jangan dipandang dalam perspektif kaum feminis. Tapi pandanglah sebagai kecintaan seorang istri yang dengan sabar berkhidmat kepada suaminya.



Menurut Goleman, ketika kita meng-hadapi kesusahan, salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan melihat kembali persoalan itu dari sudut yang lain. Maksudnya, cobalah kita pahami dan tafsirkan persoalan itu secara seksama. Carilah perspektif lain dalam memandang berbagai masalah itu. Karena itu akan membawa kita kepada kondisi yang lebih kuat dalam menghadapi musibah.

Cerita Ubaid

   Terkadang untuk menyampaikan sebuah kebenaran tidak
    perlu ceramah dan retorika. Tutur kata yang santun &
    perilaku mengesankan dapat membuat seseorang simpati
    lalu jatuh hati.

    Ubaid adalah seorang pegawai. Belasan tahun sudah ia
    bekerja di sebuah bank swasta. Orangnya jujur, rajin
    dan taat beribadah. Agama baginya bukan hanya di
    masjid dan dinikmati sendiri. Namun agama menurutnya
    adalah dakwah, berbagi dengan sesama sehingga nilai
    dan sinarnya dapat dirasakan oleh orang lain.

    Ubaid beruntung karena mendapatkan fasilitas KPR dari
    kantornya. Dua minggu sudah ia mencari-cari rumah yang
    sesuai dengan plafond kantor dan sesuai pula dengan
    keinginannya. Allah Swt menunjukkan rumah yang sesuai
    untuknya di sebuah bilangan di Ciputat - Tangerang,
    Cirendeu tepatnya.

    Ubaid menceritakan kepada istrinya rumah yang baru
    saja dilihat. Sore itu Ubaid berjanji untuk mengajak
    istrinya untuk melihatnya sekaligus meminta
    persetujuan atas rumah yang dimaksud.

    Setengah enam sore, Ubaid & istri berangkat dari rumah
    menuju Cirendeu. Baru separuh jalan, terdengarlah
    kumandang adzan Maghrib. Mendengarnya, Ubaid berujar
    kepada istrinya , "Shalat Maghrib kita numpang saja ya
    di rumah yang mau kita lihat..!" Istrinya pun
    mengiyakan usul Ubaid.

    Ubaid & istri sampai di rumah itu. Pemilik rumah
    menyambut mereka dengan seulas senyum. Mereka
    dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu. Dalam
    pembicaraan yg mereka lakukan, Ubaid & istri
    mengetahui bahwa ibu pemilik rumah adalah seorang
    janda usia 50 tahun lebih beranak dua.

    "Berapa bu rumah ini mau dijual?" tanya istri Ubaid
    kepada pemilik rumah. "Saya mau lepas dengan harga 300
    juta" sahut pemilik rumah.
    "Gak boleh kurang?" tandas istri Ubaid.
    "Itu juga sudah murah... Kemarin ada yang tawar 260
    juta saya gak kasih" jawab pemilik rumah.
    Mendengarnya Ubaid & istri menjadi paham harga yang
    diinginkan pemilik rumah, namun plafond dari kantor
    untuk Ubaid hanya Rp 250 juta. Ubaid & istri saling
    berpandangan. Budget mereka tidak sesuai dengan harga
    rumah yg diinginkan.

    ***

    Ubaid melirik jam di pergelangan tangannya. Masya
    Allah...! Waktu Isya sebentar lagi tiba, padahal Ubaid
    & istri belum shalat Maghrib...
    Ubaid lalu berkata kepada pemilik rumah, "Ibu, boleh
    kami numpang shalat di sini?"
    Mendengar kalimat itu rona wajah pemilik rumah berubah
    drastis. Tampak kebingungan & sedikit tegang. Ubaid
    merasakan hal itu, ia pun meralat kalimatnya, "Kalo
    gak boleh shalat di sini, masjid yang terdekat dimana
    ya...?"
    Kalimat ini pun menambah kekikukan bagi pemilik rumah,
    dan ia pun menyergah "Masjid jauh dari sini!!!"
    Ubaid pun menjadi bingung atas sikap & jawaban dari
    pemilik rumah. Dalam hati ia menduga kalau-kalau
    pemilik rumah bukan seorang muslimah. Namun Ubaid &
    istrinya harus segera shalat Maghrib, ia pun berujar,
    "Kalo gak boleh shalat di dalam rumah, bolehkah kami
    shalat di teras?"
    Merasa terdesak, pemilik rumah akhirnya mengizinkan.
    Maka jadilah Ubaid & istrinya shalat Maghrib di teras
    rumah. Tanpa alas apapun sebagai sejadah mereka.

    ***

    Usai shalat, Ubaid dan istri melanjutkan pembicaraan
    dengan pemilik rumah. Tidak berlangsung lama, mereka
    pun berpamitan. Sayang malam itu tidak ada angka yang
    disetujui oleh mereka, baik oleh Ubaid dan istri
    ataupun dari pemilik rumah. Masing-masing bertahan
    dengan harga dan uang yang mereka mau.

    "Malam itu akhirnya gak ada angka yang pas buat kita,
    beliau maunya 300 juta, padahal saya hanya boleh
    ngambil KPR maksimal Rp250 juta" demikian Ubaid
    bercerita kepada saya.
    "Namun pak, aneh sungguh aneh luar biasa.... keesokan
    paginya, ibu pemilik rumah menelpon ke hp saya!" Ubaid
    melanjutkan ceritanya. Kalimat terakhir yang ia
    ucapkan membuat saya bertanya ada apa gerangan.

    Ubaid bercerita bahwa pemilik rumah itu bertanya lewat
    pembicaraan telpon pagi-pagi sekali, "Pak Ubaid, saya
    nelpon cuma mau tanya, apakah setiap rumah yang hendak
    bapak beli harus disembahyangin dulu...?!"
    Saat Ubaid sampaikan kalimat itu, dahi saya berkernyit
    dan membuat saya berujar, "Maksudnya apa?"
    "Itu dia pak..., saya pun menanyakan hal yang sama
    kepada ibu itu?!" sahut Ubaid. Lalu Ubaid menceritakan
    bahwa ibu pemilik rumah itu menanyakan kepadanya
    apakah setiap rumah yang mau dibeli harus dishalatin
    dulu?
    "Saya bilang sama ibu tadi bahwa saat itu kami berdua
    belum shalat Maghrib padahal waktu Isya sudah hampir
    masuk... jadi apa yang kami lakukan adalah sebuah
    kewajiban bukannya untuk menentukan rumah itu cocok
    atau tidak...!" Ubaid menjelaskan kalimat yang ia
    sampaikan kepada ibu pemilik rumah.
    "Tapi pak..., ibu itu berkata bahwa entah kenapa usai
    saya & istri pulang ia merasa cocok dan menjadi tenang
    hatinya, makanya pagi itu beliau menelpon ke hp saya"
    Ubaid menambahkan.

    Lebih panjang Ubaid bercerita kepada saya bahwa ibu
    itu mengaku sudah hampir 30 tahun tidak pernah shalat
    sejak ia ditinggal oleh suaminya dan harus membesarkan
    kedua anaknya. Hidupnya panik dan sulit. Ia harus
    bekerja dan mencari nafkah. Duit dan duit yang ada
    dalam kepalanya, dia lupa sama sekali untuk menyembah
    Allah.

    "Sekarang, ibu itu tidak kurang 3 kali dalam seminggu
    pasti menelpon atau berkunjung ke rumah. Dia mau
    belajar menjadi muslimah lagi katanya" Ubaid
    menjelaskan kepada saya.
    "Rumah itu sudah kami beli darinya. Harganya pun amat
    menakjubkan. ..! Jauh dari dugaan kami semula... Kami
    membelinya dengan harga Rp 220 juta saja!!!" tambah
    Ubaid. Saya takjub mendengarnya.
    "Lebih hebatnya lagi..., sampai sekarang rumah itu
    baru separuh kami bayar. Bukan karena keinginan kami,
    tapi keinginan ibu itu!!!" tegas Ubaid. Saya langsung
    bertanya keheranan , "Kok bisa begitu...?"
    "Dia bilang bayar saja sisanya kalau saya sudah merasa
    puas belajar ibadah kepada pak Ubaid dan keluarga...!"
    Ubaid menutup kalimatnya sambil tersenyum.

    ***
    Subhanallah. ... kisah itu begitu berarti bagi saya
    yang mendengarnya. Terkadang bila ibadah sudah mewujud
    dalam akhlak seseorang, maka simpati dari sesama akan
    terbit dan menyinari kehidupan yang kita jalani.
    Ternyata, semuanya menjadi makin indah dengan
    ibadah!!!

    Jazakumullah Ubaid atas inspirasinya!

    Salam,
    Bobby Herwibowo
    www.kaunee.com

Cerita Tikus

Seekor tikus yang hidup di sebuah hutan belantara merasa hidupnya sangat tertekan karena takut pada kucing. Ia lalu menemui seorang penyihir sakti untuk meminta tolong. Penyihir memenuhi keinginannya dan mengubah si tikus menjadi seekor kucing. Namun setelah menjadi kucing, kini ia begitu ketakutan pada anjing. Kembali ia menemui penyihir sakti yang kemudian mengubahnya menjadi seekor anjing. Tak lama setelah menjadi anjing, sekarang ia merasa ketakutan pada singa. Sekali lagi si penyihir sakti memenuhi keinginannya dan mengubahnya menjadi seekor singa. Apa yang terjadi? Kini ia sangat ketakutan pada pemburu. Ia mendatangi lagi si penyihir sakti meminta agar diubah menjadi pemburu. Kali ini si penyihir sakti menolak keinginan itu dan berkata, "Selama kau masih berhati tikus, tak peduli seperti apapun bentukmu, kamu tetaplah seekor tikus yang pengecut" Ya..! Kita adalah apa yang ada di dalam Pikiran, Hati & Jiwa kita.Bentuk luar, tingkah laku dan lain-lain hanyalah kemasan yang menyembunyikan `jati-diri' seseorang yang sesungguhnya.